Wednesday, March 19, 2008

Mereka Yang Tiada

Berikan kekuatan dalam mencari sinar
Di jalan ini ku hadapi duka dan sedu sepi
Bersama teman teman harungi perjuangan
Biarpun kekurangannya ada, Takkan ku gundah



Hudzaifah.org – “Aku ingin keluar dari jamaah ini!” sepotong kalimat terlontar dari seorang ikhwah. Bukan untuk yang pertama kali, namun sudah tak terhingga kalimat ini mengiang di telinga kita. Bukan pula yang terakhir kali, karena inilah sunatudda’wah. Pernyataan ini senantiasa membekas di setiap zaman, di setiap episod dakwah, dari zaman kenabian sampai hari kiamat.

“Silakan akhi, silakan ukhti,” jawab seorang ikhwah menimpali. Beberapa dari kita mempersilahkan kepergian saudara dari barisan ini dengan sikap biasa-biasa. Sikap yang lahir dari pemahaman bahwa hal ini merupakan sunnah dakwah, bahwa akan selalu lahir ikhwah-ikhwah baru, mujahid-mujahid baru, bahwa Islam akan tetap terpelihara sehingga tidak patut barisan ini merengek-rengek demi menahan kepergian seseorang, bahawa natural selection berlaku untuk membersihkan orang-orang yang barangkali memang kurang sesuai memikul beban amanah ini. Sikap ini tidak salah, banyak yang menerapkan dengan apa adanya, maka akhirnya tidak sedikitlah bilangan yang benar-benar mundur dan gugur dari barisan ini

Saat kita bersemangat, memiliki tingkat iman yang stabil atau sedikit lebih baik, kita seolah-olah melihat saudara kita pun seperti kita. Menerapkan standard stability keimanan kita kepada saudara-saudara kita, atau bahkan adik (ikhwah baru) kita. Maka, ketika keadaan saudara kita tidak stabil, sedang mengalami fluctuatution iman, futur, kita pun menganggapnya sebagai kader manja. Kita melihatnya dengan perspektif berbeza dengan apa yang dirasakannya atau yang diperlukannya. Kita yang stabil memaksa agar dia boleh bertahan di garis keimanan. Sehingga kita tidak merasa terlalu perlu untuk memberinya nasihat, atau motivasi-motivasi keimanan. Sementara betapa ia memerlukan sentuhan-sentuhan perhatian kita.

Kita berfikir bahawa suatu ketika nanti, kita akan hidup sendiri tanpa seorang ikhwah yang menemani di suatu daerah. Sehingga kita mengira bahawa kita harus bersiap-siap untuk hal tersebut. Maka ketika ada seorang yang futur, kita bersikap seolah-olah tidak peduli padanya. Dan ketika dia benar-benar mengucapkan, “selamat tinggal”, kita menyalahkannya atas kelemahannya. Kita menyelamatkan diri atas kesalahan dari futurnya saudara, dengan hiburan-hiburan bahawa ini adalah sunatuddakwah.

Tidak sedikit kisah-kisah futurnya ikhwah dari barisan ini setelah tarbiyah bertahun-tahun. Bukan hal yang mengejutkan memang, ulama bahkan ada yang murtad, berganti haluan, ustaz pun ada yang terjatuh, saat tergiur dengan indahnya dunia. Kehilangan seorang yang telah memiliki kefahaman dan mobiliti dakwah yang tinggi, apakah boleh diganti dengan masuknya 50 orang baru dalam barisan ini, tanpa kefahaman dan aksi dakwah yang mapan? Lepasnya seorang kader produktif apakah boleh ditutupi dengan hiburan bahwa 50 baru orang yang baru-baru mengikuti daurah tahap awal, dengan produktiviti dakwah yang masih kosong?

Saudaraku, apakah orang yang baru tarbiyah 1 atau 5 tahun telah boleh menyamai kepribadian Ka’ab bin Malik ra? Nilai keimanan memang tidak boleh diukur dengan lamanya tarbiyah, namun kita bisa melihat secara umum bagaimana keadaan keimanannya dengan parameter usia interaksinya dengan dakwah. Apakah kita akan menyikapi seorang yang baru setahun liqo dengan sikapnya Musa As. kepada Harun As. Saat beliau menarik janggut saudaranya? Atau kita mencuba mengikuti marahnya Abu Bakar ra. Kepada Umar ra yang memilih jalur lembut dalam menghadapi Musailamah dan orang-orang yang menolak zakat? Sekeras itukah kita berperilaku terhadap seorang ikhwah. Dimana senyummu saat pertama bertemu bersama dalam dakwah ini, dimana pelukmu seperti kepada adik-adikmu yang baru masuk dalam aksi tarbiyah?

Kunjungilah saudaramu, ketika lama ia tidak menyapamu, smslah ia saat sang adik tidak pernah muncul-muncul dalam pertemuan keimanan. Datangilah mereka yang lemah, mereka yang manja, tularkan petuah-petuah juangmu. Apakah benar sudah saatnya mereka survival dalam menjaga stabliti keimanananya Tidak, tidak ya akhi, cukuplah derai airmata ini, cukuplah kesedihan hilangnya seorang ikhwah ‘pencen’ sampai disini, dakaplah dan tahanlah mereka yang hendak pergi.

Kuntum bunga boleh layu, namun rekahnya bunga-bunga mujahid harus terjaga tetap hadir di sebuah kebun.

Kita akan bersama menempuh segalanya
Bersatu hati mendamaikan jiwa yang keluh resah
Janji patri berama ikatan teguh setia
Berjaya menuju gerbang impian kita harapkan

Di hati kita bersama..
Di hati kita melangkah
Jangan dipisahkan kasih bersaudara
Jangan di dendamkan ukhwah yang terbina
(Lagu Nasyid Di Hati dr kumpulah d'hearty)

3 comments:

mardija.M.sofian said...

Ouch.

Anonymous said...

nice blog..
keep up ur works!
god bless u..

ibnu_umar said...

salam..

artikel ni bukan saya yg tulis pun.. copy paste jer dari paksi.net.

senang2 lawat lah website tu.. byk lagi artikel2 sebegini.. semoga bermanfaat..