Thursday, March 20, 2008

Hari ni cuti

Assalamualaikum wrh wbt



Gambar Dr Syafawi yg hensem.
oleh: Adul

Hari ni cuti.

Saya baru balik dari Telok Kemang, Negeri Sembilan.

Semalam ada buat bbq di parking lot pasal luar hujan. Makan ayam masak arang bbq.. kalo tolak arang yg melekat kt kulit ayam, kire sedap gakla daging ayam yg dibbq kan itu.. hehe :D

Paginya plak main game perang belon air. Kene head shot oleh sebiji belon yg bewarna hijau.. tensen betul! :P

Oh lupa nak cakap. Harini besday saya ke 23.. patutlah dapat cuti..

wslm

Wednesday, March 19, 2008

Mereka Yang Tiada

Berikan kekuatan dalam mencari sinar
Di jalan ini ku hadapi duka dan sedu sepi
Bersama teman teman harungi perjuangan
Biarpun kekurangannya ada, Takkan ku gundah



Hudzaifah.org – “Aku ingin keluar dari jamaah ini!” sepotong kalimat terlontar dari seorang ikhwah. Bukan untuk yang pertama kali, namun sudah tak terhingga kalimat ini mengiang di telinga kita. Bukan pula yang terakhir kali, karena inilah sunatudda’wah. Pernyataan ini senantiasa membekas di setiap zaman, di setiap episod dakwah, dari zaman kenabian sampai hari kiamat.

“Silakan akhi, silakan ukhti,” jawab seorang ikhwah menimpali. Beberapa dari kita mempersilahkan kepergian saudara dari barisan ini dengan sikap biasa-biasa. Sikap yang lahir dari pemahaman bahwa hal ini merupakan sunnah dakwah, bahwa akan selalu lahir ikhwah-ikhwah baru, mujahid-mujahid baru, bahwa Islam akan tetap terpelihara sehingga tidak patut barisan ini merengek-rengek demi menahan kepergian seseorang, bahawa natural selection berlaku untuk membersihkan orang-orang yang barangkali memang kurang sesuai memikul beban amanah ini. Sikap ini tidak salah, banyak yang menerapkan dengan apa adanya, maka akhirnya tidak sedikitlah bilangan yang benar-benar mundur dan gugur dari barisan ini

Saat kita bersemangat, memiliki tingkat iman yang stabil atau sedikit lebih baik, kita seolah-olah melihat saudara kita pun seperti kita. Menerapkan standard stability keimanan kita kepada saudara-saudara kita, atau bahkan adik (ikhwah baru) kita. Maka, ketika keadaan saudara kita tidak stabil, sedang mengalami fluctuatution iman, futur, kita pun menganggapnya sebagai kader manja. Kita melihatnya dengan perspektif berbeza dengan apa yang dirasakannya atau yang diperlukannya. Kita yang stabil memaksa agar dia boleh bertahan di garis keimanan. Sehingga kita tidak merasa terlalu perlu untuk memberinya nasihat, atau motivasi-motivasi keimanan. Sementara betapa ia memerlukan sentuhan-sentuhan perhatian kita.

Kita berfikir bahawa suatu ketika nanti, kita akan hidup sendiri tanpa seorang ikhwah yang menemani di suatu daerah. Sehingga kita mengira bahawa kita harus bersiap-siap untuk hal tersebut. Maka ketika ada seorang yang futur, kita bersikap seolah-olah tidak peduli padanya. Dan ketika dia benar-benar mengucapkan, “selamat tinggal”, kita menyalahkannya atas kelemahannya. Kita menyelamatkan diri atas kesalahan dari futurnya saudara, dengan hiburan-hiburan bahawa ini adalah sunatuddakwah.

Tidak sedikit kisah-kisah futurnya ikhwah dari barisan ini setelah tarbiyah bertahun-tahun. Bukan hal yang mengejutkan memang, ulama bahkan ada yang murtad, berganti haluan, ustaz pun ada yang terjatuh, saat tergiur dengan indahnya dunia. Kehilangan seorang yang telah memiliki kefahaman dan mobiliti dakwah yang tinggi, apakah boleh diganti dengan masuknya 50 orang baru dalam barisan ini, tanpa kefahaman dan aksi dakwah yang mapan? Lepasnya seorang kader produktif apakah boleh ditutupi dengan hiburan bahwa 50 baru orang yang baru-baru mengikuti daurah tahap awal, dengan produktiviti dakwah yang masih kosong?

Saudaraku, apakah orang yang baru tarbiyah 1 atau 5 tahun telah boleh menyamai kepribadian Ka’ab bin Malik ra? Nilai keimanan memang tidak boleh diukur dengan lamanya tarbiyah, namun kita bisa melihat secara umum bagaimana keadaan keimanannya dengan parameter usia interaksinya dengan dakwah. Apakah kita akan menyikapi seorang yang baru setahun liqo dengan sikapnya Musa As. kepada Harun As. Saat beliau menarik janggut saudaranya? Atau kita mencuba mengikuti marahnya Abu Bakar ra. Kepada Umar ra yang memilih jalur lembut dalam menghadapi Musailamah dan orang-orang yang menolak zakat? Sekeras itukah kita berperilaku terhadap seorang ikhwah. Dimana senyummu saat pertama bertemu bersama dalam dakwah ini, dimana pelukmu seperti kepada adik-adikmu yang baru masuk dalam aksi tarbiyah?

Kunjungilah saudaramu, ketika lama ia tidak menyapamu, smslah ia saat sang adik tidak pernah muncul-muncul dalam pertemuan keimanan. Datangilah mereka yang lemah, mereka yang manja, tularkan petuah-petuah juangmu. Apakah benar sudah saatnya mereka survival dalam menjaga stabliti keimanananya Tidak, tidak ya akhi, cukuplah derai airmata ini, cukuplah kesedihan hilangnya seorang ikhwah ‘pencen’ sampai disini, dakaplah dan tahanlah mereka yang hendak pergi.

Kuntum bunga boleh layu, namun rekahnya bunga-bunga mujahid harus terjaga tetap hadir di sebuah kebun.

Kita akan bersama menempuh segalanya
Bersatu hati mendamaikan jiwa yang keluh resah
Janji patri berama ikatan teguh setia
Berjaya menuju gerbang impian kita harapkan

Di hati kita bersama..
Di hati kita melangkah
Jangan dipisahkan kasih bersaudara
Jangan di dendamkan ukhwah yang terbina
(Lagu Nasyid Di Hati dr kumpulah d'hearty)

Tuesday, March 18, 2008

"Kita ini berbeza"

Oleh : Dr. Ahmad Jamalludin

Orang yang menyatakan ungkapan ini boleh dituduh eksklusif. Bahkan
ada yang mengatakan "Kita ini istimewa, bukan sekadar berbeza". Nah,
kalau yang ini bahkan boleh kita dituduh sebagai facist. Namun ada hal
yang saat ini mengganggu ruang benak saya; bahwa kita perlu merasa
istimewa, dan perlu menyadari keistimewaan kita. Namun keistimewaan
kita bukanlah bermakna ketinggian derajat di antara sesama manusia,
bahkan boleh membawa bermakna sebaliknya.

Seorang kawan mengatakan bahwa pengetahuan dan pemahaman
adalah "perangkap" bagi kita. Kerana kita dituntut untuk beramal sesuai
dengan pengetahuan dan pemahaman kita, dan Allah SWT akan
mengazab orang-orang yang amalnya tidak sesuai dengan
pengetahuannya. Kita tidak mahu menjadi orang yang sudah tahu mana
yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana buruk, tapi
masih menolak mengikuti kebenaran dan enggan meninggalkan
keburukan. Orang yang bodoh adalah orang yang tidak mengetahui
kebenaran, sedangkan orang yang ingkar adalah orang yang mengetahui
kebenaran tapi menolak mengikuti kebenaran tersebut.

Dan "celaka"nya, kita ini termasuk orang-orang yang dalam segi
pemahaman Islam lebih baik dibandingkan dengan rata-rata mahasiswa
di kampus kita. Kita beraktiviti dalam organisasi Islam –baik ruhi
ataupun LDF/LDK-, kita membaca buku-buku Islam lebih banyak dan
lebih dari kebanyakan mahasiswa, kita mengalami proses tarbiyah
secara khusus, dan kita beraktiviti atas nama dakwah sehingga pemahaman kita akan amal-amal dalam Islam, terutama amal dakwah, lebih baik dari kebanyakan teman-teman kita yang lain.

‘Ujub? Tidak sepatutnya! Kerana ketinggian pemahaman kita sama
sekali tidak menunjukkan ketinggian darjat kita. Ada yang jauh lebih
penting dari sekedar memahami, yaitu melaksanakan apa yang kita
fahami. Dan inilah yang mungkin boleh menambah nilai diri kita di mata
Allah ‘azza wa jalla. Pemahaman ini juga berisiko sebaliknya, yaitu
menurunkan kualiti kita di mata Allah, saat kita menolak untuk beramal
sesuai dengan pemahaman kita.

Hingga "terperangkap" lah kita di sini. Kita "terlanjur" tahu mana yang
benar dan mana yang salah, "terlanjur" tahu apa yang dapat membawa
kita pada kemuliaan dan apa yang menggiring kita menuju kehinaan.
Dan kita tidak punya pilihan selain beramal.

"Jadi lebih baik kalau kita tidak tahu apa-apa? Kan tidak jadi beban?"
Lebih teruk lagi kalau kita sampai punya pemikiran seperti itu. Kerana
pemahaman kita adalah jalan menuju kemuliaan di sisi Allah SWT.
(Tidakkah kita dambakan kedudukan di sisi Allah SWT?) Kita punya
kesempatan untuk mempunyai ‘amal soleh lebih baik dan lebih banyak
daripada mereka yang tidak paham. (Kenapa mahu memilih yang
sebaliknya?)

Kalau memang kita memilih untuk tidak tahu apa-apa, matikan saja
fungsi akal kita! Maka kita akan menjadi makhluk yang tidak berbeda
dengan haiwan yang tidak tahu kebenaran dan kesalahan, kebaikan dan
keburukan.

Kita Harus Diperlakukan Istimewa

"Kenapa ada ta’limat yang hanya untuk sebagian ikhwah-akhawat saja?
Kenapa kita diasingkan yang lain tidak? Kenapa kita wajib memenuhi
permintaan tapi yang lain tidak?" Jawapannya mungkin sama dengan
alasan kenapa yang dipulaukan waktu Perang Tabuk hanya 3 orang
sahabat saja.

Saat RasuluLlah memerintahkan kaum muslimin untuk berperang dalam
Perang Tabuk, banyak warga Madinah yang tidak ikut berperang.
Sebagian besar adalah orang munafik dan kaum muslimin yang
keimanannya belum kuat. Orang-orang munafik ini memberikan berbagai
alasan agar dapat dimaafkan, tapi ada 3 orang sahabat yang sungguh-
sungguh keimanannya, dan mereka mengakui kekhilafan serta dosa-
dosanya, yaitu Ka’ab bin Malik, Murara bin Rabi’ dan Hilal bin Umayyah.
Sepulang dari Perang Tabuk RasuluLlah beserta kaum mu’minin
memboikot hanya mereka bertiga dalam urusan kemasyarakatan.

Jadi memang ada orang yang seharusnya mendapat layanan/hukuman
berbeza berbanding yang lain walaupun pelanggarannya sama. Kita yang
sudah tahu pentingnya ketaatan dalam berjamaah harus diperlakukan
berbeza daripada yang belum tahu; hukuman/teguran harus lebih berat
kalau tidak taat. Kita yang sudah tahu adab pergaulan harus ditegur
lebih keras daripada yang belum tahu kalau melakukan hal yang
"macam-macam" .

‘Ujub lagi? Tidak seharusnya! Sekali lagi ini berhubungan dengan
pengamalan pemahaman kita. Mungkin harusnya kita malu kerana kita
masih minta banyak keringanan dan mencari-cari alasan kalau tidak
melaksanakan seruan dan amanah dakwah.

Saya Ini Penyu, Ikhwah-Akhwat Itu Rembulan

Ramadhan tahun ini benar-benar dimanfaatkan sebagai anjang
muhasabah buat saya dan beberapa ikhwah. Waktu i’tikaf kami
berdiskusi sambil mengintrospeksi diri. Kemudian ada yang berkata "Saya
ini sebenarnya malu sama ikhwah-akhawat. Selama ini Saya cuma jadi
beban, tukang bikin masalah. Saya banyak membebankan jama’ah
dengan kesalahan-kesalahan yang Saya lakukan, sedangkan Saya belum
pun memberikan sumbangan apa-apa buat dakwah ini. Sementara ikhwah
-akhawat yang lain begitu luar biasa perjuangannya, hingga terkadang

Saya merasa tidak layak untuk diakui sebagai saudara mereka. Kalau
diumpamakan ikhwah-akhawat itu ibarat rembulan, sedangkan Saya
ibarat penyu".

Kedengarannya mungkin ikhwah kita ini sangat tidak percaya diri. Tapi
kata-katanya bersumber dari perenungan dan muhasabah, sehingga
sangat berbekas di hati Saya. Saya merenungkan bahwa begitu banyak
hal yang harus Saya akui sebagai kesalahan, yang membuat Saya begitu
ingin meminta maaf kepada ikhwah-akhwat. Sedangkan belum ada amal
yang dapat Saya kelaskan sebagai ‘amal soleh. Amal-amal Saya pasti
ada kekurangan dan kesalahannya, baik dari segi kontribusinya terhadap
dakwah, maupun dari segi ma’nawiyahnya (keikhlasan, keistiqomahan,
bebas riya’, dan lain-lain). Dan Saya pun ikut merasa ibarat penyu yang
tak layak bersanding dengan rembulan.

Seorang ustadz pernah mengatakan bahwa dakwah ini dibangun dengan
susah payah dan kerja keras para da’i, namun untuk merosak bangunan
dakwah ini cukup hanya dengan kecerobohan satu dua orang saja.
Sungguh menjadi sebuah mimpi buruk bagi kita, bila di Hari Akhir nanti
kita dimintai pertanggungjawaban kerana telah merusak kerja keras
saudara-saudara kita, bukannya memecahkan masalah dakwah malah
menjadi masalah itu sendiri, bukannya meringankan beban saudara-
saudara kita malah menambah berat beban itu.

Dan bukankah selama ini kita memang sudah membebankan ikhwah-
akhawat? Kita sudah memerah para murabbi/murabbiyah agar mereka
mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran demi membina kita, tapi
ternyata produktiviti kita dalam dakwah sangat kurang ("Kaga [Tak]
balik modal" kalau kata orang Betawi). Kita juga sudah menyia-nyiakan
ikhwah-akhawat yang sudah letih dan pusing memikirkan pembinaan
kita, yang sudah sibuk-sibuk menguruskan daurah, mengelola
mentoring/halaqah kita, dan sudah penat memikirkan kenakalan-
kenakalan kita. Sementara kita sendiri belum melakukan apa-apa bagi
dakwah, dan belum berbuat apa-apa untuk meringankan beban mereka.

Hmmm, jadi gimana, ya?!